Perkara Ekonomi Syariah dan Penyelesaiannya Berdasarkan Hukum Islam

                                                        



Perkara Ekonomi Syariah

Penjelasan Pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun2006 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “ekonomi syariah” adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antra lain, meliputi; (1) bank syariah; (2) lembaga keuangan mikro syariah; (3) asuransi syariah; (4) reasuransi syariah; (5) reksa dana syariah; (6) obligasi syariah dan surat berharga menengah syariah; (7) sekuritas syariah; (8) pembiayaan syariah; (9) pengadaian syariah; (10) dana pension lembaga keunangan syariah; dan (11) bisnis syariah.

Penulis[1] berpendapat bahwa berdasakan asas personalitas keislaman dan asas kebebasan berkontrak, maka hukum ekonomi syariah berlaku terhadap:

  1. Perbuatan atau kegiatan usaha ekonomi yang dilakukan oleh orang islam atau badan hukum ekonomi syariah. Hal ini sepenuhnya tunduk pada system ekonoi syariah karena ia adalah subjek hukum ekonomi syariah sehingga tidak ada pilihan lain selain system ekonomi syariah.
  2. Perjanjian dan atau transaksi yang dilakukan oleh sesame subjek hukum ekonomi syariah, yakni antara orang islam dengan orang islam, antara orang islam dengan badan hukum ekonomi syariah dan sebaliknya, dan antara sesame badan hukum ekonomi syariah.
  3. Perjanjian dan atau teransakasi ekonomi yamg dilakukan oleh badan hukum ekonomi syariah dengan non muslim, maka secara hukum tunduk pada system hukum ekonomi syariah karena badan hukum ekonomi syariah hanya tunduk pada hukum ekonomi syariah dan tidak pilihan hukum baginya selain hukum ekonomi syariah sehingga bagi non muslim dianggap telah menundukkan diri pada hukum ekonomi syariah karena ia memiliki hak kebebasan berkontrak.
  4. Perjanjian dan atau transaksi yang dilakukan oleh orang islam dengan orang non muslim.
  5. Ketentuan yang berlaku terhadap perjanjian dan atau transaksi yang dilakukan antara badan hukum ekonomi syariah dengan badan hukum ekonomi non syariah.
  6. Perjanjian dan atau transaksi yang dilakukan oleh orang islam dengan badan hukum ekonomi non islam, maka tunduk pada hukum ekonomi konvensional karena badan badan hukum non islam merupakan subjek hukum yang hanya tunduk pada hukum ekonomi konvensional.

Dahulu, sengketa ekonomi syariah ini belum diatur pengadilan mana yang berkompeten memeriksa dan mengadilinya. Kemudian sejak berlakunya UU No. 3 Tahun 2006, maka penyelesaian sengketa ekonomi syariah ditetapkan menjadi kompetensi absolut pengadilan agama. Pengatuan ini sesuai dengan prinsip-prinsip peradilan syariah islam dan prisnsip-prinsip dasr kekuasaan mengadili dalam system ketatanegaraan Indonesia. Jangkauan kompetensi peradilan agama di bidang ekonomi syariah meliputi seluruh aktifitas ekonomi orang islam dan badan hukum islam selaku subjek hukum islam selaku subjek hukum ekonomi syariah sebagaimana diatur diatas. Aktifitas ekonomi syariah dimaksud antara lain sebgaiman di atur dalam Peratuan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 10 September 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (Perma. No, 2 Tahun 2008 tentang KHES).

Kenyataan menunjukan bahwa meskipun pasal 49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006 memberi tugas kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah, namun Pembentuk UU-PA tersebut tidak menyediakan hukum terapan yang di perlukan

Problem hukum transaksi ekonomi syariah akan muncul manakala perjanjian atau transaksi ini dilakukan dengan pihak lain yang menurut hukum objektif tidak tunduk pada hukum syariah islam, padhal perjanjia dan/atau transaksi tersebut hanya sah apabila dilakukan berdasarkan hukum syariah islam.   

Perkara surat berharga syariah Negara diatur dalam UU Nomor 19 Tahun 2008 tanggal 7 Mei 2008 tentang surat berharga syariah Negara. Pertimbangan penting diundangkannya UU ini, antara lain, adalah untuk memperkuat struktur ekonomi nasional dan sekaligus meningkatkan pengelolaan keuangan Negara.

Perkara perbankan syariah diatur kemudian dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tanggal 16 Juli 2008 tentang Perbangkan Syariah. Pertimbngan penting pembukuan UU ini adalah: (1) dalam mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dengan mengembangkan system ekonomi yang berlandasan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prisip syariah; (2) memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat akan jasa perbankan syariah yang semakin meningkat; dan (3) perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional.

Kemudian dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (2) ditetapkan bahwa: yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upanya sebagai berikut:

  1. Musyawarah;
  2. Mediasi perbankan;
  3. Melaluia badan Arbitrase Syriah Nasional (Basyarnas) atau lembada arbitrase lain; dan/atau
  4. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Damal hal ini, kompetensi absolut pengadilan agama meliputi beberapa aspek perbankan syariah dan kegiatannya dalam menjalankan ekonomi syariah yang, antara lain, meliputi:

  1. Kelembagaan (perorangan dan atau badan hukum) dalam perbankan syariah;
  2. Akad (perjanjian) yang dibuat dalam perbangkan syariah;
  3. Kegiatan (operasionalisasi) perbankan syariah;
  4. Sengketa tentang status hukum kelembagaan perbangkan syariah;
  5. Sengketa tentang akad (perjanjian) dalam perbangkan syariah;
  6. Sengketa tentang prestasi dan wanprestasi;
  7. Sengketa tentang arbitrase syariah;
  8. Sengketa tentang kepailitan syariah;
  9. Sengketa tentang perlindungan nasabah dalam perbankan syariah;
  10. Sengketa tentang pengingkaran arbiter pada arbitrase syariah;[2]
 
 


Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Berdasarkan Hukum Islam
  1. Al- Sulh (perdamaian)

            Secara bahasa, ‘sulh’ berarti meredam pertikaian sedangkan menurut istilah ‘sulh’ berarti suatu jenis akad atau perjanjian untuk mengakhiri perselisihan/ pertengkaran antara dua pihak yang bersengketa secara damai. Menyelesaikan sengketa berdasarkan perdamaian untuk mengakhiri suatu perkara yang sangat dianjurkanoleh allah SWT sebgai mana tersebut dalam surat an-nisa’ (4) ayat 126 yang berbunyi:

 Yang artinya:”perdamaian itu adalah perbuatan yang baik”

Ada tiga rukun yang harus dipenuhi dalam melakukan perdamaian, yakni ijab, Kabul, dan lafazdari perjanjian damai tesebut. Jika ketida hal tersebut terpenuhi, maka perjanjian itu telah berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Dari perjanjian damai itu lahir ikatan hukum yang masing-masing pihak berkewajiban untuk melaksanakannya. Perlu diketahui bahwa perjanjian damai yang sudah disepakati itu tidak bisa dibatalkan secara sepihak. Jika ada pihakyang tidak menyetujui isi perjanjian itu, maka pembatalan perjanjian itu harus atas persetujuan kedua belah pihak.

Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian damai dapat diklasifikasi kepada beberapa hal sebagai berikut:

  • Hal yang menyangkut subjek

Tentang subjek atau orang yang melakukan perdamaian harus orang cakap bertindak menurut hukum. Selain dari itu, orang yang melaksanakan atau mempunyai wewenang untuk melaksanakan haknya atau hal-hal yang dimaksudkan dalam perdamaian tersebut.

  • Hal yang menyangkut objek

Tentang objek dari perdamaian harus memenuhi ketentuan yakni: pertama, berbentuk harta, baik berwujud maupun maupun tidak berwujud seperta hak milik intelektual, yang dapat dinilai atau dihargai, dapat diserahtrimakan dan bermanfaat; kedua dapat diketahui secara jelas sehingga tidak melahirkan kesamaran dan ketikjelaskan, yang pada akhirnya dapat pula melahirkan pertikaian baru terhadap objek yang sama.

  • Persoalan yang boleh didamaikan (di-sulh-kan)

Para ahli hukum islam sepakat bahwa hal-hal yang dapat dan boleh didamaikan hanya dalam bentuk pertikaian harta benda yang dapat dinilai dan sebatas hanya kepada hal-hak manusia yang dapat diganti.

  • Pelaksana perdamaian

Pelaksana perjanjian damai bisa dilaksanakan dengan dua cara, yakni di luar siding pengadilan atau melalui sidang pengadilan. Di luar siding pengadilan, penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan baik leh mereka sendiri (yang melakukan perdamaian) tanpa melibatkan pihak lain, atau meminta bantuan orang lain untuk menjadi penengah (wasit), itulah yang kemudian disebut dengan arbitrase, atau dalam syariat islam disebut dengan hakam.

Perjanjian perdamaian (sulh) yang dilaksanakan sendiri oleh kedua belah pihak yang berselisih atau bersengketa, dalam praktik dibeberapa Negara islam, terutama dalam hal perbankan syariah disebut dengan “tafawud” dan “taufiq” (perundinyan dan penyesuaian). Kedua hal yang terakhir ini biasanya dipakai dalam mengatasi persengketaan antara intern bank, khususnya bank dan lembaga-lembaga keuangan pemerintah.

  1. Tahkim (arbitrase)

             Dalam perspektif islam, “arbitrase” dapat dipadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata “hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadiakan sesorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama sengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yakni pengangkatan sesorang atau lebih sebagai wasiat oleh dua orang yang berselisihan atau lebih guna menyelesaikan perselisihan mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “hakam”.

Menurut abu Al-Ainain Fatah Muhammad, pengertian tahkim menurut istilan fikih adalah sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan para pihak yang bersengketa.[3]

Menurut Subekti, arbitrase adalah penyelesaian suatu sengketa / perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersam-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan, sedangkan menurut UU No. 30 Tahun 1999 Pasal 1 (1), arbitrase adalah cara penyelesaian suatu perkara perdataa di luar peradilan yang didasrkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[4]

Lembaga arbitrase telah dinal sejak zaman pra-Islam. Pada saat itu meskipun belum terdapat sistem peradilan Islam yang terorganisasi, setiap ada persengketaan mengenai hak milik,hak waris dan hak-hak lainnya sering kali diselesaikan melalui juru damai (wasit) yang ditunjuk oleh mereka yang bersengketa. Tradisi arbitrasi lebih berkembang pada masyarakat Mekkah sebagai pusat perdagangan untuk menyelesaikan sengketa bisnis diantara mereka.ada juga yang berkembang di Madinah, tetapi lebih banyak  dalam kasus-kasus yang berhubungan dengan pertanian, sebagian daerah Madinah dikenal dengan daerah agraris.

Sebabnya hukum islam melembagakan tahkim sebagai tatanan yang positif karena tahkim (arbitrase) mengandung nilai-nilai positif dan konstruktif sebagai betikut:

  1. Kedua pihak menyadari sepenuhnya perlunya penyelesaian yang terhormat dan bertanggung jawab.
  2. Secara sukarela mereka menyerahkan penyelesaian persengketaan itu kepada orang atau lembaga yang disetujui dan dipercayainya.
  3. Secara sukarela mereka akan melaksanakan putusan dan arbiter, sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka mengangkat arbiter, kesepakatan mengandung janji dan janji itu harus ditepati (QS. Al-Isra’ (17) ayat 24).
  4. Mereka menghargai hak orang lain, sekalipun orang lain itu adalah lawanya.
  5. Mereka tidak ingin merasa benar sendiri (bener sak karepe dewe) dan mengabaikan kebenaran yang mungkin ada pada orang lain.
  6. Mereka memiliki kesadaran hukum dan sekaligus kesadaran bernegara/bermasyarakat, sehingga dapat dihindari tindakan main hakim sendiri (eigenrechting).
  7. Sesungguhnya pelaksanaan tahkim’arbitrase itu di dalamnya mengandung makna musyawarah dan perdamaian.
  8. Wilanyah al-Qadha (kekuasaan kehakiman)
  9. Al-Hisbah

Al-Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewnang untuk menyelesaikan maslah-maslah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya.

Al-Madzalim

Badan ini di bentuk oleh pemerintahan untuk membedakan oran-orang teraniaya akibat sikap semena-mena dari pembesar Negara atau kelurganya, yang biasanya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa dan kekuasaan hisbah.kewnangan lembaga ini adalah menyelesaikan kasus-kasus pelangaran hukum yang dilakukan oleh aparat atau pejabat pemerintahan seperti sogok menyogok, tindakan korupsi, dan kebijakan pemerintahan yang merugikan masyarakat. Orang yang berwenang menyelesaiakan perkara ini disebut dengan nama al-Mudzalim atau al-Nadlir.

Al-Qadha (peradilan)

Menurut arti bahasa, al-Qadha berarti memutuskan atau menetapkan. Menurut istilah berarti “menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikan secara adil dan mengikat”. Adapun orang yang diberi wewnang menyelesaikan perkara di pengadilan disebut dengan qadhi (hakim). Dalam catatan sejarah islam, seorang yang pernah menjadi qadhi (hakim) yang cukup lama adalah al-Qadhi syureih. Beliau memangku jabatan hakim selama dua periode sejarah, yakni pada masa penghujung Pemerintahan Khulafaurrasyidin (masa khalifah Ali Ibn Abi Thalib) dan masa awal dari Pemerintahan Bani Umayyah. Di samping tugas-tugas menyelesaikan perkara, para hakim pada pemerintahan Bani Umayyah juga diberi tugas tambahan yang bukan berupa penyelesaian perkara, misalnya memindahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baitul mall, dan mengangkat pengawas anak yatim.[5]

 

 

Sumber/refrensi:

[1]  Di sebut penulis disini ialah Dr. A Mukti Arto, S.H. M.Hum. yang di ambil dari bukunya yang berjudul Peradilan Agama dalam system ketatanegaraan Indonesia

[2] A. Mukti Arto, Perdilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesi, (Yogyakarta, pustaka pelajar: 2007)

[3] Abdul Manan,  Hukum Ekonomi syariah (Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama), (Jakarta, pernadamedia group: 2012). cet ke-1

[4] Ahmad Mujahidin, Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Bogor, Ghalia Indonesia: 2001) Cet. 1 hlm 67

[5] Abdul Manan,  Hukum Ekonomi syariah (Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama), (Jakarta, pernadamedia group: 2016). cet ke3

 

Next Post Previous Post