Prokes Ketat, Pesantren Selamat






Oleh: Qorin Annida Salma

Seperti yang kita ketahui, masa pandemi ini tak unjung usai. Seruan menjanlankan protokol kesehatan atau biasa disingkat prokes bertebaran dimana-mana. Di jalan, pasar, terminal, ataupun di sosial media sangat mudah dijumpai seruan menjalankan prokes. Lantas apakah esensi menjalankan prokes?, sekedar mengikuti anjuran pemerintah agar tidak terkena sanksi atau, ingin benar-benar menjalankan karena berharap pandemi ini lekas usai?. Ini merupakan intro seklumit kisah saya yang sempat dilanda setres melihat panjangnya episode pandemi hingga saya sempat ngapuntenbersu’udzonkepada Alah SWT dan Bu Nyai.

“Nduk, jangan lupa pakai masker”

“Nduk, jangan lupa cuci tangan”

“Nduk, jangan lupa nanti setelah keluar mandi dulu di asrama 1”

“Nduk, jangan lupa nanti setelah keluar harus ganti baju atasan, bawahan, jilbab, dan masker”

“Nduk, Nduk, Nduk.....”

Perkenalkan, saya Qorin Annida Salma, santri putri Pondok Pesantren Putri MBAH RUMI yang sedang mengikuti KKN MIT DR XII Kelompok 34. Penggalan di atas merupakan sepotong penggalan nasihat Bu Nyai, pengasuh PPP MBAH RUMI yang hampir setiap hari didengar oleh para santri putri. Bosan? tentu saja. Sebal? apalagi. Bagaimana tidak, pandemi yang berlangsung hampir dua tahun ini benar-benar  merubah kehidupan para santri putri di sana.

Pondok Pesantren Putri Mbah Rumi atau PPP MBAH RUMI merupakan salah satu pesantren yang berada di Ngaliyan, Kota Semarang. Pesantren yang diisi oleh mayoritas mahasiswi UIN Walisongo Semarang ini, tentunya sedikit  berbeda dengan pesantren salaf maupun pesantren yang berisi anak sekolah pada umumnya. Di Pesantren ini, para santri putri diperbolehkan membawa HP, motor, laptop, bebas berbelanja online, dan juga mempunyai kelonggaran untuk mengikuti kegiatan di luar pesantren. Namun sayang, itu merupakan ketentuan pesantren sebelum pandemi. Saat pandemi berlangsung privilage-privilage itu banyak dihapuskan dan semakin diperketat.

Awalnya, saya sebagai mahasiswi yang sok-aktivis ini sering nggrundel dan bersu’udzon kepada Bu Nyai. Bukan tanpa sebab, pada saat itu saya merasa ruang gerak saya terlalu dibatasi, terebih lagi saya sedang menjalankan KKN dan mengikuti project lomba nasional mewakili kampus yang notabenya mengharuskan saya sering mengikuti kegiatan di luar. Selain itu, saya juga merasa bahwa lingkungan sekitar saya aman dan kita tidak perlu menjalankan prokes yang berlebihan hingga harus mandi, ganti baju, dll sebelum pulang ke pondok. 

Setelah pandemi berjalan lama, rasa nggrundel dan su’udzon kepada Bu Nyai juga belum usai, bahkan dari hari ke hari semakin membuat saya dongkol. Hingga pada suatu hari, saya mendapat info dari teman saya bahwa banyak santri dari pesantren di wilayah kampus UIN Walisongo Semarang yang terkena Covid-19. Saya sempat sangat kaget dan shook, hingga peristiwa itu tiba-tiba menyadarkan saya akan suatu hal. Himbauan-himbaun Bu Nyai itu bukan tanpa sebab dan makna, alih-alih ingin mengekang para santri putri sebenarnya itu bentuk sayang Bu Nyai yang begitu besar kepada para santri putrinya.

Melalui kejadian ini saya berpesan kepada kita semua bahwa, segala sesuatu harus bisa dicerna dengan kepala dingin. Jangan mudah su’udzon, dan selalu tawadhu’ kepada oranng tua. Insyallah jika kita selalu mengikuti perintah dari orang tua dan mengikuti anjuran pemerintah dalam menjalankan prokes ini pandemi akan segera berakhir.

 

 

 

 

 

Next Post Previous Post