Dasar Hukum ditetapkannya Jarimah Al-Baghyu



Pengertian Al-Baghyu

Al-baghyu secara harfiah berarti meningggalkan atau melanggar. Dalam istilah hukum pidana Islam, Al-baghyu adalah suatu usaha atau gerakan yang dilakukan oleh suatu kelompok dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah.[1] Menurut istilah Al-Baghyu adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada Imam yang sah tanpa alasan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Baghyu adalah keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah atau pemimpin yang sah dengan melakukan perbuatan yang melampaui batas. 


Dasar Hukum ditetapkannya Jarimah Al-Baghyu

1. Dasar Hukum dalam Al-Qur’an 

  • ( QS. Al-Maidah Ayat 33)

إِنَّمَا جَزَاءُ الَّذِينَ يُحَارِبُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَسْعَوْنَ فِي الْأَرْضِ فَسَادًا أَنْ يُقَتَّلُوا أَوْ يُصَلَّبُوا أَوْ تُقَطَّعَ أَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ مِنْ خِلَافٍ أَوْ يُنْفَوْا مِنَ الْأَرْضِ ۚ ذَٰلِكَ لَهُمْ خِزْيٌ فِي الدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Artinya :

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”

  • QS. As-Syuro Ayat 40

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ

Artinya:

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”

  • QS. Al-Hujurot Ayat 9 

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Arttinya:

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”


2. Dasar Hukum Dalam As-Sunnah 

من أعطى إماما صفقة يده و ثمرة فؤاده فليطعه مااستطاع فإن جاء آخر ينازعه فاضربوا (مسلم) عنقه

Artinya:

“Siapa yang telah memberikan bai’atnya kepada seorang imam (penguasa) dan telah menyatakan kesetiaan hatinya, maka patuhilah dia semaksimal mungkin. Bila datang yang lain memberikan perlawanan kepadanya, maka bunuhlah dia. (HR. Muslim)”

Dari penjelasan yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis Nabi tersebut di atas dapat dipahami bahwa tindakan yang dilakukan terhadap pemberontak tersebut adalah sebagai berikut[3] :

Pertama : melakukan ishlah atau perdamaian dengan pihak pelaku makar, yang dalam ishlah tersebut imam menuntut para pelaku makar untuk menghentikan perlawanannya dan kembali taat kepada imam. Bila perlawanan tersebut dilakukan karena imam telah berlaku zhalim dan menyimpang dari ketentuan agama, maka imam memberikan penjelasan atau memperbaikinya.

Kedua : bila cara pertama tidak berhasil dalam arti perlawanan masih tetap berlangsung maka imam memerangi dan membunuh pelaku makar, sampai selesai dan tidak ada lagi perlawanan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, untuk dapat menentukan hukuman terhadap pemberontak, ulama fikih membagi pemberontakan menjadi dua bentuk.

  • Pertama : para pemberontak yang tidak memiliki kekuatan persenjataan dan tidak menguasai daerah tertentu sebagai basis mereka. Untuk pemberontak seperti ini, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa pemerintah yang sah boleh menangkap dan memenjarakan mereka sampai meraka sadar dan bertaubat.
  • Kedua : pemberontak yang menguasai suatu daerah dan memiliki kekuatan bersenjata. Terhadap para pemberontak seperti ini, pihak pemerintah menghimbau terlebih dahulu untuk menyerah dan bertaubat, jika masih melawan maka pemerintah dapat memerangi mereka.


Syarat- Syarat Penjatuhan Hukuman terhadap tindakan Al-Baghyu

a. Pelaku hirabah orang mukallaf.

b. Pelaku hirabah membawa senjata.

c. Lokasi hirabah jauh dari keramaian.

d. Tindakan hirabah secara terang-terangan.

Mengenai syarat-syarat diatas terdapat beberapa pertentang diantara para ulama sebagian ulama mengatakan bahwa jika hadd al-baghyu ini gugur bagi anak kecil dan orang gila maka hadd tersebuutpun akan gugur bagi orang dewasa dan berakal namun yang akan dikenakan haddnya adalah perbuatan yang telah dilakukan misalkan perbuatan makar tersebut telah menewaskan seseorang maka pelaku makar tersebut terkena hadd pembunuhan dan seterusnya berlaku bagi perbuatan yang lain.[6]

Sedangkan menurut madzhab maliki dan dzahiriyah mengatakan bahwa hadd pemberontakan gugur bagi anak kecil dan orang gila tetapi tidak gugur bagi orang dewasa dan berakal (mukallaf). Karena hadd ini adalah hak Alloh sedangkan dalam melaksanakan hak Alloh itu anak kecil dan orang gila tidak boleh disamakan dengan orang yang mukallaf.

Dalam hal ini tidak ada permasalahan mengenai gender dan status baik itu laki-laki atau perempuan dan baik itu orang yang merdeka ataupun budak. Mengenai permasalahn senjata Imam Syafi’i, Maliki, Pengikut Hambali, Abu Yusuf, Abu Tsaur dan Ibnu Hazm yang dianggap ghirabah adalah motif tindakan kejahatannya bukan dilihat dari senjatanya. Namun berbeda dengan pandangan Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa tindakan yang hanya bersenjatakan batu dan tongkat tidak termasuk ghirabah.

Mengenai tempat keramaian sebagian ulama seperti Abu Hanifah, Tsauri, Ishak, dan mayoritas ulama fiqh dari golongan fiqh berpendapat bahwa jika kejahatan ghirabah ini dilakukan ditempat keramaian maka ini tidak dapat dikatan hirabah karena sang korban dapat meminta tolong sehingga akan dengan mudah melumpuhkan pelaku kejahatan. Menurut sebagian ulama lain berpendapat bahwa tindak kejahatan itu dipadang atau ditempat ramai sekalipun itu dapat dikategorikan hirabah karena ayat mengenai hirabah secara umum menyangkut segala jenis hirabah baik dipadang maupun ditempat keramaian.[7]


[1] (Ibn Jarir at-Tabari, Jami al-Bayan fi Ta wil al-Quran, 2000) 

[2] Amir Syarifuddin. Garis-Garis Besar Fiqh. (Jakarta: Kencana, 2005). hal. 315.

[3] Sayyid sabieq. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT.Al-Ma’arif.1993.Hal.177

[4] Sayyid sabieq. Fiqh Sunnah jilid 9. Bandung: PT.Al-Ma’arif.1993.Hal.178




Sumber:
Ibn Jarir at-Tabari, Jami al-Bayan fi Ta wil al-Quran, 2000




 

Next Post Previous Post