Makar Dalam Kacamata Hukum Pidana

                             




Makar Dalam Kacamata Hukum Pidana

        Makar adalah sebuah tindakan yang di kategorikan dapat mengancam presiden maupun presiden dan juga mengancam kedaulatan negara. Di Indonesia saat ini, istilah ‘makar’ yang diambil dan diartikan dari kata ‘aanslag’, diatur dalam beberapa pasal yakni diantaranya Pasal 87, 104, 106, 107, 139a, 139b, dan 140 KUHP. dalam pembahasan kali ini penulis akan melihat makar dalam kacamata hukum positif yang akan di bedah secara ringkas dan padat dalam pembahasan berikut:

           Pasal 87 KUHP

  • Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud dalam Pasal 53

            Pasal 104 KUHP

  • Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup pidana pejara sementara paling lama duapuluh tahun.

            Pasal 106 KUHP

  • Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara lama dua puluh tahun.
            Pasal 107 KUHP

  • Makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  • Para pemimpin dan para pengatur makar tersebut dalam ayat (1) diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana pejara sementara paling lama dua puluh tahun.”

             Pasal 139a

  • Makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”

            Pasal 139b

  • Makar dengan maksud untuk meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahabn negara sahabat atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”

            Pasal 140

  • Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja atau dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
  • Jika makar terhadap nyawa berakibat kematian atau dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua puluh tahun.
  • Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”


                    Pengertian Tindak Pidana 

    Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”. Tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam menerjemahkan KUHP dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia, menerjemahkan istilah strafbaar feit sebagai tindak pidana.[1] 

Moeljatno dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana berpendapat bahwa perbuatan pidana yaitu “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.[2] ”

Pengertian Makar

Makar berasal dari kata aanslag (Belanda) yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan.[3]Makar dalam kamus politik adalah akal busuk, tipu muslihat, perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.[4] Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus yang dapat ditemui dalam Pasal 87, yang berbunyi: “Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti dimaksud pasal 53”[5]


Tolak Ukur Tindak Pidana Makar 

Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP ada 3 syarat yang harus ada agar seseorang dapat dipidana melakukan percobaan kejahatan yaitu: 

a.       Adanya niat 

b.      Adanya permulaan pelaksanaan  

c.       Pelaksanaan itu tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya.[6]

Percobaan yang dapat dipidana menurut sistem KUHP bukanlah percobaan terhadap semua jenis tindak pidana. Yang dapat dipidana hanyalah percobaan terhadap tindak pidana yang berupa kejahatan saja, sedangkan percobaan pelanggaran tidak dipidana.[7] 

 Pasal 87 KUHP hanya memberikan suatu penafsiran tentang istilah “makar” dan tidak memberikan definisinya. Berdasarkan rumusan pasal 87 tersebut, adalah tidak dapat terjadi percobaan pada makar, karena makar itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari percobaan (syarat-syarat untuk dipidananya percobaan), walaupun pengertiannnya lebih sempit dari pengertian syarat dapat dipidananya melakukan percobaan kejahatan yang dirumuskan pada Pasal 53 ayat (1).

Perbedaan antara percobaan dan makar juga dikemukan oleh Prof. Van Bemmelen, yang mengatakan: 

Het verschil tussen aanslag en poging, zoals omschreven in art. 45 Sr., bestaat sedert de antirevolutiewet van 28 Juli 1920, Stb. 619, hierin, dat bij aanslag de vrijwillage terugtred de strabaarheid niet opheft. Voor die anti-revolutiewet luidde art. 79 Sr: aanslag berstaat zodra een strafbare poging tot her voorgenomen fiet aanwezig is. De wetgever heft in 1920 de thans geldende redactie gekozen, omdat hij aanslagen op de koning, of ondernomen met het oogmerk de grondwettige regeringsvorm te vernietigen of pop onwettige wijze te veranderen enz. Zo gevaarlijk vond, dat hij zelfs wanneeer verdachte, nadat reeds een uitvoeringshandeling was ondernomen, vrijwillig was teruggetreden, de aanslag toch strafbaar achte.[8]

Artinya:

Perbedaan antara makar dengan percobaan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP terjadi setelah diberlakukannya undang-undang antirevolusi tanggal 28 Juli 1920, staatsblad tahun 1920 No. 619, di mana pembatalan niat secara sukarela pada tindak pidana makar itu kemudian telah membuat pelakunya menjadi tetap dapat dipidana. Sebelum diberlakukannya undang-undang antirevolusi tersebut, rumusan Pasal 79 KUHP itu berbunyi: “Makar itu terjadi segera setelah orang mencoba malakukan kejahatan seperti yang dikehendakinya”. Pada tahun 1920 pembentuk undang-undang telah memilih rumusan seperti yang dapat dijumpai orang dewasa ini, dengan alasan makar terhadap raja (Presiden), atau yang dilakukan untuk menghancurkan bentuk pemerintahan yang sah atau untuk mengubahnya secara tidak sah adalah sangat berbahanya, hingga ia berpendapat bahwa apabila seorang terdakwa itu telah melakukan suatu tindakan pelaksanaan, maka terdakwa yang melakukan suatu makar itu tetap dapat dipidana, walaupun benar bahwa sebenarnya ia telah mambatalkan niatnya untuk melakukan makar tersebut secara sukarela.

Dengan penjelasan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa makar itu adalah suatu wujud tingkah laku tertentu yang telah memenuhi unsur pertama dan kedua dari pasal 53 ayat (1) KUHP, yang artinya untuk mempidana seorang pelaku/ pembuat (dader) yang telah melakukan suatu perbuatan yang masuk kualifikasi kejahatan makar, sudahlah cukup terpenuhi syarat adanya niat yang ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan beserta maksud tertentu yang terlarang oleh Undang-undang, tanpa harus dipenuhinya syarat tidak selesainya pelaksanaan perbuatan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.[9]


Simpulan 

Makar berasal dari kata aanslag (Belanda) yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan. Makar merupakan suatu wujud tingkah laku tertentu yang telah memenuhi dua unsur dari pasal 53 ayat (1) KUHP, makar bukanlah suatu percobaan tindak pidana perbedaan antara makar dengan percobaan (tindak pidana) seperti yang dirumuskan dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP terjadi setelah diberlakukannya undang-undang antirevolusi tanggal 28 Juli 1920, staatsblad tahun 1920 No. 619, di mana pembatalan niat secara sukarela pada tindak pidana makar itu kemudian telah membuat pelakunya menjadi tetap dapat dipidana. Sebelum diberlakukannya undang-undang antirevolusi tersebut, rumusan Pasal 79 KUHP itu berbunyi: “Makar itu terjadi segera setelah orang mencoba malakukan kejahatan seperti yang dikehendakinya”. 

Pada tahun 1920 pembentuk undang-undang telah memilih rumusan seperti yang dapat dijumpai dewasa ini, dengan alasan makar terhadap raja (Presiden), atau yang dilakukan untuk menghancurkan bentuk pemerintahan yang sah atau untuk mengubahnya secara tidak sah adalah sangat berbahanya, hingga ia berpendapat bahwa apabila seorang terdakwa itu telah melakukan suatu tindakan pelaksanaan, maka terdakwa yang melakukan suatu makar itu tetap dapat dipidana, walaupun benar bahwa sebenarnya ia telah mambatalkan niatnya untuk melakukan makar tersebut secara sukarela.

 __________________________

[1] Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013, h. 55. 

[2] Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987, h. 54.

[3] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Keamanan dan Keselamatan Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, h. 7.

[4] Marbun, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2005, h. 329.

[5] Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, 2011, h.36.

[6]Adami Chazawi, Kejahatan…, h. 8

[7] Barda Nawawi Arief, Sari Kuliah Hukum Pidana II, Semarang: Universitas Diponegoro, 1993, h.1.

[8] Lamintang, Theo Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara , Jakarta: Sinar Grafika, 2010, h. 14.

[9] Adami Chazawi, Kejahatan…, h. 10

Next Post Previous Post